Abstrack
This research aims to provide
knowledge about understanding the concept of self disclosure to avoid the phenomenon of online disinhibition on social media, especially in Generation Z. The research method used is qualitative research method that is a library study. This research is focused on Generation Z, a generation born in the range of 1995-2009 in which the internet and social media began to appear and develop.The method of data collection is to find and analyze from various sources of reading and information from research results and factual news such as journals, books, documents of thesis research results, thesis, and dissertations in the form of print and electronic that are considered relevant to the research and studies that are being conducted.The results showed that understanding the concept of self disclosure is necessary in establishing interpersonal communication, especially on social media. So, any information about someone in cyberspace
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan memberikan pengetahuan mengenai pemahamankonsepself disclosureuntuk menghindarifenomena disinhibisi online di media sosialkhususnya pada Generasi Z. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif yang bersifat studi pustaka.Penelitan ini difokuskan pada Generasi Z yaitu generasi yang lahir pada kisaran tahun 1995-2009 di mana pada tahun tersebut internet dan media sosial mulai muncul dan berkembang.Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan mencari dan menganalisisdari berbagai sumber bacaan dan informasi dari hasil penelitian maupun berita faktual seperti jurnal, buku,dokumen hasil penelitian skripsi, tesis,maupun disertasi baikitu yang berupa cetak maupun elektronikyang dianggap relevan dengan penelitian maupun kajian yang sedang dilakukan.Hasil penelitian menunjukan bahwa pemahaman konsep self disclosure(pengungkapan diri) diperlukan dalam menjalin komunikasi interpersonal khususnya di media sosial. Jadi, informasi apapun mengenai seseorang di dunia maya akan sama dengan kondisi asli di dunia nyataagar dapat menghindarkan Generasi Z yaitu generasi yang menduduki urutan ke dua pengguna internet terbanyak di Indonesia (APJI, 2017) yaitu sebanyak 49,52% dari fenomena disinhibisi online dan meminimalisis adanya kejahatan di dunia maya (cybercrime) dengan adanya kontrol dalam melakukanpengungkapan diri di media sosial.
PENDAHULUAN
Kemajuan teknologi informasi berkembang begitu cepatdan canggih, banyak masalah yang sulit akan mudah terselesaikan dengan memanfaatkan teknologi. Namun banyak juga masalah yang terjadi akibat teknologi, karena ketidakmampuan seseorang menggunakannya atau bahkan karena penyalahgunaan teknlogi demi kepentingan pribadi. Saat ini pengguna internet terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari tahun ke tahun. Terlebih lagi pada kondisi saat ini yang mengharuskan sebagian besar masyarakat Indonesia untuk melakukan pekerjaan, maupun sekolah dari rumah (work frome home) dengan menggunakan fitur-fitur yang disediakan oleh internet dan teknologi. Hal tersebut sebagaimana disampaikan oleh Sekertaris Jendral Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet. Indonesia (APJII), Kasyfi Soemartono yang menjelaskan hasil survei Pengguna Internet Indonesia pada tahun 2019-2020 berjumlah 73,7 persen naik dari 64,8 persen dari tahun 2018. Menurut Sekertaris Jendral APJII, jika digabungkan dengan angka dari proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS) maka populasi Indonesia tahun 2019 berjumlah 266.911.900 juta, sehingga pengguna internet Indonesia diperkirakan sebanyak 196,7 juta pengguna. Jumlah tersebut tidaklah sedikit, artinya sebagian besar masayarkat Indonesia adalah pengguna internet. Banyak hal yang bisa kita lakukan dan kerjakan lewat internet dan teknologi, mulai dari video conference, mengakses informasi dan berita terbaru, audio dan video, Sosial
Media, bimbingan belajar dan lain sebagainya. Kemudahan yang disediakan oleh internet memudahkan kita untuk memperoleh informasi tanpa batas kapan saja dan dimana saja. Selain itu dengan internet kita bisa melakukan komunikasi yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Semua orang bisa berkomunikasi dengan orang lain tanpa harus bertemu secara langsung dan bahkan dengan orang yang belum dikenal melalui media sosial.Menurut laporan Statistik, 19Februari 2020 mencatat pengguna media sosial di Indonesia pada tahun 2020 paling banyak yaitu berusia 25-34tahun dengan presentase 35,4 persen, kemudian yang menduduki posisi kedua yaitu usia 18-24 tahun dengan presentase 30,3 persen. Dari rangeusia tersebut kita mengetahuibahwa usia 18- 24 tahun menduduki posisi kedua pengguna media sosoal di Indonesia pada tahun 2020. Dimana usia 18-24 generasi Z, generasi Z adalah kelompok orang yang lahir pada awal tahun 1995 sampai 2009.Grail Research (2011) menyatakan bahwa generasi Z adalah generasi pertama yang mengenal internet. Generasi Z memiliki karakteristik menyukai teknologi, fleksibility, dan menyukai budaya instan serta kurang memiliki kepekaan terhadap esensi privasi karena adanya pengunggahan tentang kehidupan di media sosial. Satu hal yang menjadi ciri khas dan kebiasaan generasi Z adalah selalu membagikan kegiatan sehari-hari mereka di media sosial, baik itu foto, video atau sebatas catatan harian (diary)tentang perasaan mereka saat itu. Menurut Sladek dan Grabinger, 2014 jika mereka (generasi Z) memiliki pengalaman baik atau buruk terhadap sesuatu,generasi initidak akan diam saja, mereka akan mengungkapkannya di media sosial. Maka tidak heran jika postingan mereka di Instagram maupun media sosial lainnya sebagian besar adalahrekam jejak digital dari pengalaman yang mereka alamiatau interpretasi dari perasaanyang mereka miliki saat mengunggahnya di media sosial. Selain untuk mengungkapkan pengalaman yang mereka alami, generasi Z juga menggunakan media sosial untuk melakukan hubungan dan komunikasi dengan teman-teman virtualnya dari berbagai daerah bahkan sampai ke seluruh penjuru dunia. Menurut Survey yang dilakukan Parent Survey (Sladek dan Grabinger, 2014), 34% generasi Z berhubungan dengan berbagai kenalan di kota lain dan 13% di negara yang berbeda. Kegiatan yang mereka lakukan seperti berbagi pesan, kabar, video, foto atau bahkan video call lewat aplikasi-aplikasi yang menyediakan fitur yang telah disebutkan di atas. Contohnya adalah whatsapp, instaagram, facebook, twitter, line, telegram, dan lain sebagainya. Hal tersebut yang kemudian menjadi kekhawatiran bagi berbagai pihak karena generasi Z rentan terhadap kejahatan cyber.Baik itu sebagai korban maupun pelaku kejahatan di media sosial.Hal ini mungkin saja terjadi karena pengguna media sosial bebas memberikan komentar terhadap postinganorangl ain yang ada di media sosial, sepertik omentar buruk maupun komentaryang baik. Seringkalimereka menyalahgunakan media sosial untuk hal –hal yang kurang baik seperti mengejek, menceladengan kata-katay ang kurang sopan,mngkritik dengan cara menghina, body shamming dan lain sebagainya. Penyalahgunaan media sosial untuk tindakan kekerasan ini disebut dengan cyberbullying yang digunakan untuk mengintimidasi seseorang dengan mengirimkan Namun, apa yang diucapkanoleh para pengguna media sosial melalui komentar, tweet, dan juga caption yang dibuat disetiap unggahan,dan lain sebagainyakepada pengguna lain itu,tidak semuamemiliki makna yang buruk dan menjatuhkan atau bahkan mengancam orang lain. BLACK’S LAW DICTIONARY (1999). The reader is reminded, words alone do not constitute a threat. Threates are expressive acts (spoken, written, gestures) of one or more persons that either cause actual harm to another person or, at a minimum, place another, person or persons in imminent fear or harm. Vacca and Bosher (2003) Once again, as in the discussion above, the presence of intent to inflict harm or lose on another, or place another in imminent fear of harm must be emphasized mengingatkan pembaca bahwa, “ katakata saja tidak merupakan ancaman.”Ancaman adalah “tindakan ekspresif (lisan, tertulis, gerakan)dari satu ataulebih orang yang baik menyebabkan kerugian bagi orang lain atau minimal menempatkan seseorang atau lebih takut dalam keadaan yang berbahaya.” Vacca dan Bosher (2003) seperti pada pembahasan di atas, adanya niat untuk menimbulkan kerusakan atau kerugianL ain, atau tempat lain karena takutakan terjadi bahaya harus ditekankan (Ricard S. Vecca, 2005:2). Berikut adalah perilaku yang tergolong dalam tindakan cyberbullying, seperti memberikan informasiburuktentang seseorang kepada publik yang belum tentu kebenaranya, memanggil seseorang dengan nama panggilan orang tuanya,m enirukan gaya orang lain secara berlebihan, selalu mengomentari fisiks eseorang, dan bahkan memberikan peringatan kepada arang lain dengan cara mengancam. Beberapa hal di atas dilakukan melalui aplikasi-aplikasiy ang disediakan internet seperti twitter, youtube, Instagram, facebook,e mail, line, telegram, we chat dan lains ebagainya.Orang yang menjadi pelaku cyberbullyingtersebut seolaholah mengetahui segala hal tentang hiduporang lain (korban, sasaran). Justru dengan keberagaman yang dimilikioleh setiap orang yang ada di media sosial menjadikan kita lebih menghargai kekurangan dan kelebihan orang lain.Kitabisabelajar dari kelebihan dan bakat yang orang lain miliki dan tidak dimiliki oleh kita. Serta berusahamemperbaiki kekurangan yang kita miliki atau bahkan membantu orang lain untuk mengatasi kekuranga yang mereka punya, tanpa harus menjatuhkan satu sama lain, sehingga media sosiala kan jauh memberikan dampak positif terhadap diri kita. Menurut penelitianyangd ilakukan oleh Varjas, Talley, Mayers, Parris, dan Cuts (2010), menemukan bahwa remaja lebih sering melakukan cyberbullying berdasarkan motivasimotivasi internal, diantaranya adalah pengalihan perasaan, pembalasan dendam, membuat perasaan menjadi lebih baik, menghilangkan rasa bosan, perlindungan, iri hati untuk mendapatkan pengakuan, mencoba persona baru, dan anonymityatau rasa malu. Anonymity merupakan bagian dari dimensi disinhibitionatau biasa kita kenal dengan online disinhibition effect, yaitu perbedaan yang mendasar pada diri individu ketika online (di dunia maya) dengan offline (pada kehidupan yang sebenarnya). Teknologi sudah memberikan ruang kebebasant erhadap individu untuk menjadi diri sendiri atau mencoba menjadi identitas dan kepribadian lainyang tidak bisa diperlihatkan dalam keadaan realitas face to face, juga dengan keduae fek positif dan negatifnya (Suler,2004). Online disinhibition effect juga memiliki pengertian yaitu ketidakmampuan individu untukm engendalikan perilaku, pikiran dan perasaan, ketika mereka berinteraksi secara online serta berkomunikasi dengan cara yang tidak mereka lakukan ketika offline (Suler, 2004). Salah satu contohnya adalah ketika kita bertemu dengan teman baru lewat Instagram, kita saling mengkomentari postingan satu sama lain, berbagi pesanm enggunakan berbagai macam pengeksprsian baik itu melalui emotikon, stiker, voice note yang seakan-akan menunjukan kita itu interaktif, namun ketika kita bertemu dengan orang tersebut seketika kita menjadi pendiam dan tidak seaktif seperti yang ada di Instagram.Dalam fenomena tersebut memungkinkanseseorang untuk menipu dan ditipu lewat media sosial demi mendapatkan keuntungan pribadi.Berdasarkan penelitian menemukan bahwa interaksi yang dilakukan oleh masyarakat berjejaring dengan menggunakan teknologi internet berdampak pada munculnya anggota masyarakat yang kurang bertanggung jawab dan mengucilkan diri dari interaksi dengan masyarakat (Levine, 2001 dalam Kollanyi, 2007). Untuk menghindari adanya online disinhibition effect agar apa yang kita lakukan ketika online maupun offline memiliki sinkronisasi (sama) maka perlu adanya pemahaman terhadap bagaimana cara pengungkapan diri atau keterbukaan diri baik itu di media sosial maupun di dunia nyata.Pengumngapan diri akan dapat diterapkan dalam semua kondisi individu apabila individu tersebut memahami konsep apa saja yang harus dimiliki agar memiliki pengungkapan diri yang baik. Pemahaman masuk kedalam ranah kognitif seseorang. Menurut Gunawan, Imam dan Palupi, 2017 yang dikutip dalam NovitasariDewi, 2020 individu tidak akan bisa mengaplikasikan sebuah konsep apabila tidak mengetahui terlebih dahulu maksud dari isinya. Sehingga perlu ada sebuah pemahaman terlebih dahulu ketika seseorangingin melakukan suatu tindakan.Pengungkapan diri biasa dikenal dengansebutanself disclosure. Menurut West dan Turner, 2008 self disclosure adalah pengungkapan informasi tentang diri sendiri kepada orang lain. Jadi apa yang kita unggah di media sosial adalah bentuk interpretasi nyata dari kejadian pengalaman maupun perasaan di dunia nyata.Menurut Wood (2012) self disclosure adalah pengungkapan informasi mengenai dirisendiri yang biasanya tidak diketahui oleh orang lain.Membuka diri cenderung mengundang orang lain untuk membuka diri juga (Wood, 2021).Sehingga jika kita menunjukan dir ikita yang sebenarnya di media sosial tanpa adanya manipulasi makaOrang lain juga akan cenderung melakukan hal yang sama, begitu pulsebaliknya. Berikut adalah 5 aspek self disclosure yang dikemukakan oleh Leung 2002:
1.Countrol of depth, individu mengakui bahwa mereka berbicara cukup panjang tentang diri sendiri, mengungkapkan hal yang intimatau pribadi, dan sepenuhnya mengungkapkan perasaan diri sendiridi media sosial.
2.Accuracy, berkaitan dengan ketulusan, keterbukaan, dan kejujuran tentang perasaan, emosi, dan pengalaman individu ketika menggunakan media sosial.
3.Amount of disclosure,berkaitan dengan seberapa banyak Individu mengungkapkan diri sendiri di media sosial.
4.Valence, berkaitan denga isi dari apa yang diungkapkan individu, dimana hal tersebut bersifat lebih positif dan diinginkan, atau lebih negative dan tidak diinginkan.
5.Intent of disclosure, berkaitan dengan apakahindividu menyadari apa yang mereka ungkapkan di media sosial. Beberapa penelitianyang dilakukan sebelumnya mengenaihubungan antara anonimitas dengan benign online disinhibitioneffect pada generasi Z di Surabaya(Nur Septiani Rokhimasari,2020), online disinhibitioneffectdan perilaku cyberbullying (Aida Zharotunnisa, Udi Rosida. H, 2019) telah memberikan gambaran mengenai fenomena disinhibisi khususnyadikalangan pengguna internet dan media sosialseperti generasi Z. Maka dari itu yang menjadi permasalahan dalam kajian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar tingkatan pemahaman self disclosure pada generasi Z yang berkaitan dengan perilaku disinhibisi di media sosial (online disinhibitioneffect).
No comments:
Post a Comment